Rabu, 14 April 2010

SUARA HATI




Aku memandang ke bawah, gedung ini cukup tinggi, mungkin ini dapat mengakhiri penderitaanku selama ini. Cukup sudah aku ditekan oleh orang-orang sekelilingku. Dipersalahkan oleh atasan-atasan sok berkuasa itu, dibicarakan dan difitnah oleh tetangga penggosip di sekitarku, dituntut ini itu oleh keluargaku. Memang tidak ada yang perduli lagi padaku. "Evia, jangan!" Terdengar suara panik dari belakangku. Suara pemuda yang kukenal. Oke mungkin ada yang peduli padaku, dia, Rio. Setidaknya aku juga perduli padanya, bagaimana tidak, aku cinta padanya. Tapi karena aku juga dia menjadi repot, dia ikut dipersalahkan oleh kantor, itu juga karena aku. Jadi, sudah cukup aku menyusahkan dan membuat sial orang-orang di sekelilingku. Aku tidak perdulikan teriakannya. Aku memilih untuk terjun bebas, mengakhiri semua kepenatan ini. Ah, tidak kusangka Rio juga ikut terjun. Jangan Rio, jangan! Biar aku saja yang merasakan pahitnya neraka. Aku mohon jangan membahayakan hidupmu. Rio melayang mendekatiku dan merangkulku erat. Erat sekali hingga walau masih terus melayang bebas aku bisa merasa aman. Apa ini pilihannya? Apa dia rela mati bersamaku? "Woooi, ada orang jatuh dari gedung!" "Coba periksa nadinya!" "Panggil ambulans, yang wanita masih hidup!" "Bagaimana dengan yang pria?" "...tidak tertolong lagi...darahnya keluar banyak sekali!" "Benturan di kepalanya sangat parah..." Suara itu membayangi telingaku, aku tak begitu paham artinya karena kepalaku sakit, seluruh tubuhku pun sakit. Suara itu masih terus bergema hingga aku merasa melayang dan tidak lagi merasakan sakit. Aku mendengar bunyi bip-bip yang aneh. Bunyi yang berdenting teratur seirama detak jantungku. Aku merasakan pusing di kepalaku, disisi lain aku heran merasa berada di ranjang yang nyaman. Aku membuka mata. kudapati diriku berada di kamar rumah sakit. "Kenapa aku bisa disini?" Gumamku lemah. Seorang suster yang menyadari aku sadar mendekatiku. "Tenang mbak! Mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita! Mbak ingat siapa mbak?" Aku berkernyit, tapi itu malah membuat kepalaku nyeri. "Tentu saja! Aku Evia..." Seketika aku ingat yang terjadi dan panik. "Kenapa? Kenapa aku bisa selamat? Dimana Rio? Apa dia baik-baik saja?" Suster itu heran dan mengingat. "Maksud mbak, pria yang ditemukan bersama mbak itu?" Aku mengangguk mengiyakan. "Maaf mbak, nyawanya tidak tertolong! Tubuhnya terhempas dibawah mbak, mbak beruntung dilindungi badannya!" Pikiranku kosong, lelucon apa lagi ini? Aku berniat mati sendiri, tapi aku malah selamat dan mengorbankan nyawa orang yang kucintai. Betapa hinanya aku. Kenapa aku masih dibiarkan hidup? Aku semakin muak dengan hidupku, hidup yang terus mengorbankan hidup orang lain. Seorang pemuda menyeruak masuk ke kamar rawatku. Wajahnya terlihat penuh amarah, tapi...sekilas ia mirip Rio. "Mana kakakku? Dimana kakakku?" Tanyanya mengamuk, padaku. Oh ya, aku lupa. Tentu saja mirip, dia Rino adik Rio. Apalagi yang harus kujelaskan padanya? Bahwa karena melindungikulah kakaknya meninggal dunia? Sungguh gila, ia pantas marah dan membenciku. "DIMANA RIOO?" Teriaknya tak sabar padaku. Suster disebelahku yang awalnya bingung segera menenangkannya dan membawanya keluar. Tak lama berselang terdengar teriakan murkanya di luar. "PEMBUNUUUUH! WANITA PEMBUNUUUHH! KEMBALIKAN KAKAAAAKK!" Aku menutup mukaku, stress, bingung apalagi yang akan kulakukan. Aku tidak ingin pulang ke rumah itu lagi. Ah andai saja aku dilahirkan kembali dan memulai hidup yang baru. Atau andai aku melupakan semua ini, semua pasti akan menjadi lebih mudah dan lebih indah. Ah, seharusnya aku amnesia saja sekalian. Tiba-tiba aku merasa mendapat pencerahan, ya, amnesia. Kepalaku sudah sakit dan terbentur, tapi kenapa aku tidak juga amnesia. Mungkin bisa kalau kubenturkan sekali lagi. Sinar menyilaukan memasuki mataku. Aku terkesiap dari ketidak sadaran. "Sepertinya dia mencoba membahayakan dirinya lagi! Tapi luka dikepalanya sudah diatasi!" Seseorang berpakaian serba putih berkata kepada orang-orang berkostum sama disekitarnya. "Mbak, di dompet mbak tidak ditemukan kartu identitas. Apa mbak bisa menghubungi orang yang mbak kenal? Memberitahu keberadaan mbak disini." Seorang suster berbicara padaku. "Telepon?" Aku menggumam bingung. Orang yang kukenal? Tapi...aku saja tidak mengenal diriku?! "Siapa aku?" Gumamku linglung. Aku coba mengingat tapi tidak bisa. "Aku siapa?" Rasanya tidak nyaman buta ingatan seperti ini, ingatanku gelap, tak ada yang tersisa. Aku membuat orang-orang berkostum putih itu bingung, lalu mereka berkumpul panik. Mereka berbincang, berbisik-bisik. "Kemarin memang ada pemuda yang mendatanginya dok! Dia mengaku adik dari jenazah yang ditemukan bersama wanita itu! Saya rasa pemuda itu juga mengenal wanita ini!" Lapor seorang suster kepada dokter. "Apa nomor telepon pemuda itu sudah disimpan?" Dokter itu memastikan. "Ada dok, di laporan pengambilan jenazah!" "Kalau begitu segera hubungi pemuda itu!" Seorang suster dengan terburu-buru ke meja resepsionis. Di tangannya telah terpegang daftar identitas jenazah dan para anggota keluarga yang bisa dihubungi. Ia memencet nomor telepon yang terihat di bukunya. Di tempat lain seorang pemuda sedang menatap kelu sebuah pusara. Para pelayat dibelakangnya satu per satu mulai menghambur meninggalkan tempat itu. Handphonenya berdering, nomor tidak dikenal. Rino merasa ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo?"
"Benar ini dengan tuan Gerino Putra?" Tanya suara di seberang. "Ya benar?"
"Maaf ini dari rumah sakit pelita. Kami ingin menanyakan tentang wanita yang ditemukan bersama kakak anda, apakah anda mengenalnya?" Suara wanita itu memperkenalkan diri dan menceritakan masalahnya. "Maaf, karena sepertinya wanita itu mengalami geger otak sehingga tidak mengenal dirinya!"

Sumber: http://cerpen.net/cerpen-cinta/suara-hati.html

0 komentar:

Posting Komentar